haloooo, akhirnya bisa ngeblog lagi
Kira-kira gw lulus daripenjara 3 tahun lalu, dan dalam waktu sesingkat itu -gw dan temen-temen seangkatan udah melanglang buana ke jenjang karier yang macem-macem, ada yang jadi PNS, guru, honorer, pegawai bank, pegawai bank, pegawai bank, pegawai bank hmm… pegawai bank, pegawai perusahaan asing, pengusaha, freelancer, honorer, dosen, bahkan masih ada yang kuliah, hmm… S1.
gw mencoba bereksperimen, “Gw mau liat, siapa yang bisa lebih sukses, mahasiswa yang memperjuangin mimpinya, atau mahasiswa yang ngebela-belain lulus dengan IPK di atas 3.00.”
Bagi yang beranggapan punya IPK di bawah 3.00 itu bodoh, asal kamu tau, jadi bodoh itu nggak mudah.
Nah, bagi kamu yang sampe sekarang masih merasa bahwa nilai kuliah itu akan mengantarkan kamu ke karier yang bagus, kamu mungkin benar, tapi mungkin dari cerita real ini, kamu bisa menyimpulkannya sendiri.
Di sini, akan gw ceritakan secara general kehidupan kita setelah 3 tahun berlalu.
Tahun pertama,
Nggak munafik, realita sarjana ber-IPK di atas tiga, bahkan sebelum wisuda banyak yang langsung dapet kerja. Beneran, mereka cepet dapet kerja! Kebanyakan temen gue itu pada kerja di perusahaan bonafit. Dapet pekerjaan oke, bergengsi —jangan tanya soal gaji. Kebanyakan temen gw yang begini, suka update status di FB, PATH, IG tentang kerjaannya. Bisa dibayangkan gimana perasaan temen-temen yang tak kunjung dapet kerja ketika ngeliat postingan itu. Panas.
Beberapa yang lain diterima jadi PNS. Satu pekerjaan ini unik, ibaratnya kayak gini,
“Allhamdulillah, diterima PNS.”
273 likes, 101 comments
“Alhamdulillah, besok mulai buka usaha.”
5 likes, 1 comment
Entah gimana sejarahnya, di Indonesia menjadi PNS adalah sebuah prestasi. Padahal belakangan gw ngobrol sama mereka, mereka bilang sendiri bahwa awalnya memang bahagia dan membanggakan, tapi ke sini-sini jadi menjemukan.
Kembali ke topik. Sarjana yang IPK-nya superior, kebanyakan jadi asisten dosen, ikut project riset, atau lanjut kuliah S2, dan IPK yang rata-rata kebawah, pada struggle nyari kerja, beberapa ada yang sekenanya dapet kerjaan, beberapa lagi mulai merintis usaha, beberapa ada juga yang bosen hidup.
Kalo kita ngumpul, gadget mereka masih sama seperti yang terakhir dipake pas ketemu di kampus. Terlihat sepertinya sedang mulai belajar mengelola uang. Entah kenapa, kesuksesan karier bisa dilihat dari gadget yang dipegang: gadget paling mahal, paling sukses kariernya, gadget yang butut, paling ngenes kariernya.
Beberapa udah ada yang menikah, dengan sebelumnya udah lama pacaran. Hmm, asumsi gw biaya nikah masih dibiayain orang tua. Beberapa ada yang menikah pake uang beasiswa. Bajing*n!
Tahun kedua,
Kayaknya mahasiswa yang dulu kebanyakan demo atau berorganisasi, jadi nggak focus sama nilai kuliahnya, dan ketika lulus, mereka dihadapi dengan keadaan dan kebutuhan tapi susah dapet kerja. Pas kuliah, mereka sok ngerti arah pergerakan bangsa ini, tapi masih nggak tau kemana arah hidup diri sendiri. Maka, tahun ini adalah tahun di mana gw melihat banyak temen-temen yang udah mulai pudar idealisme-nya, alasan mereka, “Gw mau realistis sekarang.” Kasus paling parah, dulu ketika mahasiswa -dia anti banget sama amrik, tapi setelah lulus, dia jadi agen MLM produk-produk amrik. Bagi gw, itu kekalahan mental. Bagi kamu kaum idealis yang masih mahasiswa, jangan omdo, hati-hati.
Temen-temen yang kerja profesional, tetap konsisten dengan pekerjaannya.
Gw belum melihat ada yang udah naik pangkat, tapi tetep enjoy merintis karier, beberapa udah mulai jenuh dengan aktifitas hariannya, mereka yang dulunya bahagia dan sering update status di sosmed, kini mengeluhkan jalanan yang macet dan sering telat. Beberapa juga curhat tentang kerjaan yang banyak dan lingkungan kerja yang gak asik, Beberapa ada yang mulai nanya-nanya lowongan kerja di tempat lain.
Yang merintis usaha, ada yang menyerah dan mulai nyari kerja, ada juga yang tetap konsisten membangun mimpinya. Kedua tipe temen ini, kebanyakan terlihat kurang bahagia. Belum bisa beli apa-apa sepertinya, mukanya kusut, mungkin kebanyakan utang atau tagihan. Mereka ibarat ada di ujung tanduk, sedikit terpeleset —mereka akan jatuh dan nyerah.
Beberapa masih ada yang kuliah. Yang freelancer juga masih banyak. Yang bosen idup apalagi.
Kalo kita ngumpul, banyak yang udah terlihat profesional, rambut klimis, busana necis. Badan mereka lebih sejahtera dibanding dulu pas mahasiswa, ditandai dengan perutnya yang membuncit, beberapa juga ada yang masih gitu-gitu aja.
Di antaranya, ada yang udah bisa beli gadget-gadget idaman saat mahasiswa, beberapa yang lain udah naik mobil, kemungkinan besar mobil cicilan atau kendaraan dinas, mungkin juga hasil ngebegal orang di jalan.
Ada pasangan yang udah ngegendong bayi, ada juga yang ngegendong bayi orang, terus duduk di pojokan jembatan minta minta, itu gw ahahaha .
Tahun ketiga, (2017)
Yang masih kuliah S1, gw denger kabar akhirnya di-DO. Alhamdulillah. Lah?
Temen-temen yang jenuh bekerja, banyak yang resign kerja, dan mulai nyari pekerjaan baru dengan nanya-nanya info lowongan kerja di group WhatsApp . Beberapa yang lain, mulai mencoba berbisnis.
Ada yang mantap sekali pengin berbisnis, bermodal pengetahuan dan modal dari kerja sebelumnya. Ada juga yang modal nekat. Beberapa bulan kemudian, ada yang baru ngerasain gimana struggle-nya memulai, kemudian nggak lama menyerah dan mulai nanya-nanya info lowongan kerja, kali ini nggak di group WA, tapi lebih ke personal mesej, mungkin gengsi karena takut ketauan bahwa bisnisnya gagal, atau niat bisnisnya semangat karbitan. Tipe yang seperti ini, banyak.
Ada pula beberapa bisnisnya yang cepat berkembang, mungkin dia main pesugihan kali ya, atau memang ketika dia bekerja dulu, dia belajar banyak di perusahaan sebelumnya untuk dikembangkan di perusahaan sendiri. Tipe pembelajar. Tipe yang seperti ini, cenderung sedikit.
Temen-temen yang masih bekerja, ada yang mulai dapet promosi, ada juga yang mulai gonta-ganti perusahaan dan posisi. Tipe yang kedua sangat disayangkan, karena harus mulai dari nol lagi. Beberapa ada yang menyambi bisnis sampingan buat tambah-tambahan, yang biasanya jadi tiba-tiba jualan di grup WhatsApp. “Diliat dulu produknya sis, mungkin ada yang minat. PM aja ya.”
Temen-temen yang dulu jadi asisten dosen, denger-denger udah mulai jadi dosen muda dengan dibantu dicarikan beasiswa lanjutan, beberapa yang lain mulai nanya-nanya pekerjaan di group WhatsApp .
Ini apa apa group WA, yak?!
Kalo kita ngumpul, kebanyakan yang cowok terlihat lebih ganteng, mungkin operasi plastik. Beberapa juga ada yang operasi kelamin. Yang cewek, mulai terlihat gendutan, pipinya jadi tembem. Ada juga yang dulunya jelek, sekarang jadi sedikit cantik, udah bisa beli make up dan ke salon kayaknya. Bener kata orang, yang sukses, auranya akan terlihat beda: nggak ada kata jelek, yang ada itu nggak punya duit. Dengan punya duit, kita bisa jadi lebih wangi dan telihat lebih pede, secara tidak sadar, itu akan memberi aura ketampanan. So, bagi yang saat ini masih jelek, cepatlah mapan. Orang tampan akan kalah dengan orang mapan. Ini nggak becanda.
Gadget atau mobil bukan lagi tolak ukur kesuksesan karier, itu udah jadi barang lumrah. Tolak ukur kesuksesan lebih terlihat dari ‘warna’ wajah. Wajah yang bahagia dan awet muda selalu menjadi pertanyaan orang-orang. Iya, ini bener banget, karena beberapa teman yang udah jadi asisten manager, mukanya kurang happy, malah terlihat lebih stress dan tua. Jabatan makin tinggi, makin tinggi pula responsibility-nya. Orang dengan tanggung jawab, terlihat kurang bahagia.
Temen-temen yang sejak awal merintis usaha, banyak yang gulung tikar, beberapa ada yang melesat karena nggak menyerah belajar. Yang bisnisnya sudah mulai menghasilkan, selalu dielukan, “Elu enak sekarang, elu udah ada pegawai. Elu ajarin gue bisnis dong. Ah elu.”
Mungkin kondisinya mulai berbalik dengan temen-temen yang di tahun pertama langsung bekerja. Mereka di kelas atas sekarang. Menjadi pusat perhatian bagi temen-temen lain yang masih bekerja dan berencana merintis bisnis.
Beberapa masih ada yang kerja serabutan. Entah apa yang dilakukan selama 3 tahun belakangan.
Bagi gw artikel ini termasuk cerita yang cukup menggambarkan perjalanan hidup gw selama berkarier, nggak pernah bosan membacanya. Mengingatkan gw terhadap teman-teman yang pernah hidup satu lingkaran saat kuliah, ada yang berhasil, ada juga yang kurang beruntung.
Yah, setiap orang punya perjalanan unik pastinya. Yang paling bersyukur, paling bahagia.
**
Nggak semua teman gw bekerja sesuai jurusan kuliahnya. Ada yang mengikuti passion dan interest-nya, ada juga yang bekerja karena keterpaksaan, “gue harus kerja sesuai ijazah”, yang akhirnya menjadi boomerang buat dirinya sendiri.
Gue pernah bilang (di tahun 2012) bahwa, “Banyak orang yang hidup biasa dari jurusan yang benar, dan banyak juga orang yang besar dari jurusan yang salah.”, and it’s real. Jangan sampe kamu yang saat ini kuliah salah jurusan, saat bekerja nanti salah memilih pekerjaan.
Orang-orang yang terlihat hebat saat kuliah, beberapa nggak survive di dunia kerja. Sedangkan orang-orang yang diremehkan saat kuliah, sekarang menjadi orang-orang yang berpengaruh. “Apa korelasinya ya?“, gw bertanya-tanya. Persistensi yang tinggi terhadap mimpi, itu jawabannya.
Oke, itu dulu.
*catatan* : temen-temen yang di gambarkan di blog ini bukan hanya yang satu jurusan dengan gw*
Kira-kira gw lulus dari
gw mencoba bereksperimen, “Gw mau liat, siapa yang bisa lebih sukses, mahasiswa yang memperjuangin mimpinya, atau mahasiswa yang ngebela-belain lulus dengan IPK di atas 3.00.”
Bagi yang beranggapan punya IPK di bawah 3.00 itu bodoh, asal kamu tau, jadi bodoh itu nggak mudah.
Nah, bagi kamu yang sampe sekarang masih merasa bahwa nilai kuliah itu akan mengantarkan kamu ke karier yang bagus, kamu mungkin benar, tapi mungkin dari cerita real ini, kamu bisa menyimpulkannya sendiri.
Di sini, akan gw ceritakan secara general kehidupan kita setelah 3 tahun berlalu.
Tahun pertama,
Nggak munafik, realita sarjana ber-IPK di atas tiga, bahkan sebelum wisuda banyak yang langsung dapet kerja. Beneran, mereka cepet dapet kerja! Kebanyakan temen gue itu pada kerja di perusahaan bonafit. Dapet pekerjaan oke, bergengsi —jangan tanya soal gaji. Kebanyakan temen gw yang begini, suka update status di FB, PATH, IG tentang kerjaannya. Bisa dibayangkan gimana perasaan temen-temen yang tak kunjung dapet kerja ketika ngeliat postingan itu. Panas.
Beberapa yang lain diterima jadi PNS. Satu pekerjaan ini unik, ibaratnya kayak gini,
“Allhamdulillah, diterima PNS.”
273 likes, 101 comments
“Alhamdulillah, besok mulai buka usaha.”
5 likes, 1 comment
Entah gimana sejarahnya, di Indonesia menjadi PNS adalah sebuah prestasi. Padahal belakangan gw ngobrol sama mereka, mereka bilang sendiri bahwa awalnya memang bahagia dan membanggakan, tapi ke sini-sini jadi menjemukan.
Kembali ke topik. Sarjana yang IPK-nya superior, kebanyakan jadi asisten dosen, ikut project riset, atau lanjut kuliah S2, dan IPK yang rata-rata kebawah, pada struggle nyari kerja, beberapa ada yang sekenanya dapet kerjaan, beberapa lagi mulai merintis usaha, beberapa ada juga yang bosen hidup.
Kalo kita ngumpul, gadget mereka masih sama seperti yang terakhir dipake pas ketemu di kampus. Terlihat sepertinya sedang mulai belajar mengelola uang. Entah kenapa, kesuksesan karier bisa dilihat dari gadget yang dipegang: gadget paling mahal, paling sukses kariernya, gadget yang butut, paling ngenes kariernya.
Beberapa udah ada yang menikah, dengan sebelumnya udah lama pacaran. Hmm, asumsi gw biaya nikah masih dibiayain orang tua. Beberapa ada yang menikah pake uang beasiswa. Bajing*n!
Tahun kedua,
Kayaknya mahasiswa yang dulu kebanyakan demo atau berorganisasi, jadi nggak focus sama nilai kuliahnya, dan ketika lulus, mereka dihadapi dengan keadaan dan kebutuhan tapi susah dapet kerja. Pas kuliah, mereka sok ngerti arah pergerakan bangsa ini, tapi masih nggak tau kemana arah hidup diri sendiri. Maka, tahun ini adalah tahun di mana gw melihat banyak temen-temen yang udah mulai pudar idealisme-nya, alasan mereka, “Gw mau realistis sekarang.” Kasus paling parah, dulu ketika mahasiswa -dia anti banget sama amrik, tapi setelah lulus, dia jadi agen MLM produk-produk amrik. Bagi gw, itu kekalahan mental. Bagi kamu kaum idealis yang masih mahasiswa, jangan omdo, hati-hati.
Temen-temen yang kerja profesional, tetap konsisten dengan pekerjaannya.
Gw belum melihat ada yang udah naik pangkat, tapi tetep enjoy merintis karier, beberapa udah mulai jenuh dengan aktifitas hariannya, mereka yang dulunya bahagia dan sering update status di sosmed, kini mengeluhkan jalanan yang macet dan sering telat. Beberapa juga curhat tentang kerjaan yang banyak dan lingkungan kerja yang gak asik, Beberapa ada yang mulai nanya-nanya lowongan kerja di tempat lain.
Yang merintis usaha, ada yang menyerah dan mulai nyari kerja, ada juga yang tetap konsisten membangun mimpinya. Kedua tipe temen ini, kebanyakan terlihat kurang bahagia. Belum bisa beli apa-apa sepertinya, mukanya kusut, mungkin kebanyakan utang atau tagihan. Mereka ibarat ada di ujung tanduk, sedikit terpeleset —mereka akan jatuh dan nyerah.
Beberapa masih ada yang kuliah. Yang freelancer juga masih banyak. Yang bosen idup apalagi.
Kalo kita ngumpul, banyak yang udah terlihat profesional, rambut klimis, busana necis. Badan mereka lebih sejahtera dibanding dulu pas mahasiswa, ditandai dengan perutnya yang membuncit, beberapa juga ada yang masih gitu-gitu aja.
Di antaranya, ada yang udah bisa beli gadget-gadget idaman saat mahasiswa, beberapa yang lain udah naik mobil, kemungkinan besar mobil cicilan atau kendaraan dinas, mungkin juga hasil ngebegal orang di jalan.
Ada pasangan yang udah ngegendong bayi, ada juga yang ngegendong bayi orang, terus duduk di pojokan jembatan minta minta, itu gw ahahaha .
Tahun ketiga, (2017)
Yang masih kuliah S1, gw denger kabar akhirnya di-DO. Alhamdulillah. Lah?
Temen-temen yang jenuh bekerja, banyak yang resign kerja, dan mulai nyari pekerjaan baru dengan nanya-nanya info lowongan kerja di group WhatsApp . Beberapa yang lain, mulai mencoba berbisnis.
Ada yang mantap sekali pengin berbisnis, bermodal pengetahuan dan modal dari kerja sebelumnya. Ada juga yang modal nekat. Beberapa bulan kemudian, ada yang baru ngerasain gimana struggle-nya memulai, kemudian nggak lama menyerah dan mulai nanya-nanya info lowongan kerja, kali ini nggak di group WA, tapi lebih ke personal mesej, mungkin gengsi karena takut ketauan bahwa bisnisnya gagal, atau niat bisnisnya semangat karbitan. Tipe yang seperti ini, banyak.
Ada pula beberapa bisnisnya yang cepat berkembang, mungkin dia main pesugihan kali ya, atau memang ketika dia bekerja dulu, dia belajar banyak di perusahaan sebelumnya untuk dikembangkan di perusahaan sendiri. Tipe pembelajar. Tipe yang seperti ini, cenderung sedikit.
Temen-temen yang masih bekerja, ada yang mulai dapet promosi, ada juga yang mulai gonta-ganti perusahaan dan posisi. Tipe yang kedua sangat disayangkan, karena harus mulai dari nol lagi. Beberapa ada yang menyambi bisnis sampingan buat tambah-tambahan, yang biasanya jadi tiba-tiba jualan di grup WhatsApp. “Diliat dulu produknya sis, mungkin ada yang minat. PM aja ya.”
Temen-temen yang dulu jadi asisten dosen, denger-denger udah mulai jadi dosen muda dengan dibantu dicarikan beasiswa lanjutan, beberapa yang lain mulai nanya-nanya pekerjaan di group WhatsApp .
Ini apa apa group WA, yak?!
Kalo kita ngumpul, kebanyakan yang cowok terlihat lebih ganteng, mungkin operasi plastik. Beberapa juga ada yang operasi kelamin. Yang cewek, mulai terlihat gendutan, pipinya jadi tembem. Ada juga yang dulunya jelek, sekarang jadi sedikit cantik, udah bisa beli make up dan ke salon kayaknya. Bener kata orang, yang sukses, auranya akan terlihat beda: nggak ada kata jelek, yang ada itu nggak punya duit. Dengan punya duit, kita bisa jadi lebih wangi dan telihat lebih pede, secara tidak sadar, itu akan memberi aura ketampanan. So, bagi yang saat ini masih jelek, cepatlah mapan. Orang tampan akan kalah dengan orang mapan. Ini nggak becanda.
Gadget atau mobil bukan lagi tolak ukur kesuksesan karier, itu udah jadi barang lumrah. Tolak ukur kesuksesan lebih terlihat dari ‘warna’ wajah. Wajah yang bahagia dan awet muda selalu menjadi pertanyaan orang-orang. Iya, ini bener banget, karena beberapa teman yang udah jadi asisten manager, mukanya kurang happy, malah terlihat lebih stress dan tua. Jabatan makin tinggi, makin tinggi pula responsibility-nya. Orang dengan tanggung jawab, terlihat kurang bahagia.
Temen-temen yang sejak awal merintis usaha, banyak yang gulung tikar, beberapa ada yang melesat karena nggak menyerah belajar. Yang bisnisnya sudah mulai menghasilkan, selalu dielukan, “Elu enak sekarang, elu udah ada pegawai. Elu ajarin gue bisnis dong. Ah elu.”
Mungkin kondisinya mulai berbalik dengan temen-temen yang di tahun pertama langsung bekerja. Mereka di kelas atas sekarang. Menjadi pusat perhatian bagi temen-temen lain yang masih bekerja dan berencana merintis bisnis.
Beberapa masih ada yang kerja serabutan. Entah apa yang dilakukan selama 3 tahun belakangan.
Bagi gw artikel ini termasuk cerita yang cukup menggambarkan perjalanan hidup gw selama berkarier, nggak pernah bosan membacanya. Mengingatkan gw terhadap teman-teman yang pernah hidup satu lingkaran saat kuliah, ada yang berhasil, ada juga yang kurang beruntung.
Yah, setiap orang punya perjalanan unik pastinya. Yang paling bersyukur, paling bahagia.
**
Nggak semua teman gw bekerja sesuai jurusan kuliahnya. Ada yang mengikuti passion dan interest-nya, ada juga yang bekerja karena keterpaksaan, “gue harus kerja sesuai ijazah”, yang akhirnya menjadi boomerang buat dirinya sendiri.
Gue pernah bilang (di tahun 2012) bahwa, “Banyak orang yang hidup biasa dari jurusan yang benar, dan banyak juga orang yang besar dari jurusan yang salah.”, and it’s real. Jangan sampe kamu yang saat ini kuliah salah jurusan, saat bekerja nanti salah memilih pekerjaan.
Orang-orang yang terlihat hebat saat kuliah, beberapa nggak survive di dunia kerja. Sedangkan orang-orang yang diremehkan saat kuliah, sekarang menjadi orang-orang yang berpengaruh. “Apa korelasinya ya?“, gw bertanya-tanya. Persistensi yang tinggi terhadap mimpi, itu jawabannya.
Oke, itu dulu.
*catatan* : temen-temen yang di gambarkan di blog ini bukan hanya yang satu jurusan dengan gw*
