Selasa, 28 Oktober 2014

Budaya sepak bola Indonesia : “PATAHIN AJA KAKINYA”



Sepak bola Indonesia bobrok, sepak bola Indonesia kacau, sepak bola Indonesia banyak mafianya. Itulah nada-nada skeptis masyarakat kita tentang sepak bola Indonesia.  Jujur menurut gw memang begitu adanya, gak ada yang bisa di di banggakan dari sepak bola kita, kecuali satu “fanatisme”  ya fanatisme berlebihan lebih tepatnya.


Sore itu gw sedang pulang kampung membawa motor vega gw  dan kebetulan berenti di pinggir jalan untuk melihat pertandingan sepak bola antar kampung (tarkam) untuk anak-anak.  udah lama gw gak ngeliat anak2 kecil maen bola entah itu di lapangan  besar, halaman rumah, gang dll. dan gw selalu suka ngeliat anak kecil maen bola dengan alasan : untuk mereguk “kemurnian” sebuah permainan yang penuh kegembiraan  suka cita. (dan untuk bernostalgia masa kecil waktu maen bola)




Kebetulan pertandingan baru di mulai, di sini gw seneng ngeliat perkembangan taktik sepak bola yang udah di kuasai dan di pahami anak seumuran mereka, bermain dengan 4 bek sejajar, terorganisir dan dari postur mereka ideal ngeliatnya, beda dengan zama gw kecil dulu maen dengan 2 bek sejajar, dimana ada bola di situ pada ngerubungin, yang paling hebat jadi kapten tim plus penyerang yang gak bisa maen di suruh jadi kipper atau bek pokoknya kacaunya semena mena.


Singkat cerita Pertandingan udah berjalan semua gembira termasuk gw. Ada satu anak namanya rian maenya bagus skill di atas rata-rata dia berhasil lewatin beberapa orang dengan skilnya yang baik, tapi sampai pada akhirnya kenikmatan itu teranggu saat beberapa orang suporter entah itu kakaknya atau orang tuanya pemain– mulai berteriak-teriak. Mereka meneriaki dan memaki wasit dalam beberapa insiden. Puncaknya, saat penyerang lincah dengan mobilitas yang tinggi bernomor punggung 10 si rian menguasai bola di sisi kiri, salah satu dari mereka berteriak: “Patahin aja kakinya, patahin….”

Terus terang gw geleng-geleng kepala. Gw  gak tau apa motivasi dan maksud dari teriakan-teriakan intimidatif macam itu. Sebentuk teror untuk pemain lawan? Itu jelas. alhamdulilah, pemain bernomor punggung 10 itu gak keder, dan masih tetap berani mengganggu pertahanan lawannya dari sisi kiri, titik datangnya teriakan-teriakan intimidatif dan meneror itu.

Bagusnya, saat jeda pertandingan, inspektur pertandingan memanggil para suporter itu ke meja pertandingan. Entah apa yang dibilangin oleh panitia pertandingan, tapi sejak itu mereka diam dan gak lagi berteriak-teriak sepanjang babak kedua.

Gw  ingat, saat orang-orang itu melintas di depan gw, salah seorang penonton di depan gw berkata: “Kalau mau rusuh-rusuhan di Liga Super aja sono!”

gw kira perkataan itu benar. Pertama, ini sepak bola anak-anak, turnamen yang sengaja dibuat untuk pembinaan pemain muda. Kendati ini sebuah turnamen yang berujung iming-iming hadiah dan prestasi, tujuan utamanya tetep pembinaan. Prestasi, dengan demikian, gak boleh mengalahkan motivasi pembinaan itu. Itu sebabnya pencurian umur haram betul. Itu sebabnya jatah pergantian pemain pun gak hanya 3 pemain seperti dalam kompetisi senior, sehingga setiap anak bisa mencicipi iklim kompetisi, tetap mendapatkan ruang untuk menjajal hasil latihannya dalam sebuah pertandingan resmi.
Meneriaki wasit jelas gak syahdu tuk di denger. Itu hanya akan membuat anak-anak pemilik masa depan sepak bola Indonesia udah dibiasakan dengan iklim yang gak sehat, iklim penuh syak-wasangka dan itu perlahan bisa merusak. Padahal, penonton mana pun yang melihat dengan jernih mengetahui bahwa wasit sudah memimpin pertandingan dengan baik.

Dan menyemangati para pemain dengan berteriak “patahin aja kakinya” adalah kanker busuk yang mestinya gak boleh ada dalam kompetisi sepak bola yunior. Gile aje kalau sedari muda anak-anak ini udah diajari main kayu dan asal tebas.
Menjadi juara dan pemenang sebuah turnamen yunior jelas prestasi membanggakan, tapi janganlah itu membikin kita permisif. Lagi pula, bukankah kebanggan sebuah kampung adalah saat bisa bilang: “Pemain timnas itu dulu belajar main bola dari kampong gw.”

Kedua, penonton itu juga benar saat bilang: “Kalau mau rusuh-rusuhan di Liga Super saja sono!”
Itu ucapan spontan yang dengan sangattt baik menggambarkan alam (bawah) sadar penonton tersebut yang merasa bahwa puncak kompetisi sepak bola di Indonesia adalah juga puncak kebobrokan sepak bola Indonesia. “Lihat, Liga Super gak dipandang sebagai puncak prestasi, tapi justru ajang untuk rusuh-rusuhan. Dan ini suara akar rumput, tepatnya suara orang yang peduli dengan pembinaan pemain muda,” gw jadi inget beberapa hari kemaren pas babak 8 besar ISL di jayapura antara tuan rumah persipura vs arema crounus dimana terjadi tawuran gila antara ruben sanadi dan dendy santoso, pencekikan kurnia mega plus pemukulan. miris

Bagi gw, ucapan spontan itu berarti: “Hei, dari sinilah benang kusut prestasi sepak bola Indonesia bisa mulai dipecahkan, itu pun jika mau!”

Ayo Indonesia kita pasti bisa, FORZA GARUDA !


2 komentar:

komentar dilarang menggunakan unsur SARA !