Sepak bola Indonesia bobrok, sepak bola Indonesia kacau,
sepak bola Indonesia banyak mafianya. Itulah nada-nada skeptis masyarakat kita
tentang sepak bola Indonesia. Jujur menurut
gw memang begitu adanya, gak ada yang bisa di di banggakan dari sepak bola
kita, kecuali satu “fanatisme” ya
fanatisme berlebihan lebih tepatnya.
Sore itu gw sedang pulang kampung membawa motor vega gw dan kebetulan berenti di pinggir jalan untuk
melihat pertandingan sepak bola antar kampung (tarkam) untuk anak-anak. udah lama gw gak ngeliat anak2 kecil maen
bola entah itu di lapangan besar,
halaman rumah, gang dll. dan gw selalu suka ngeliat anak kecil maen bola dengan
alasan : untuk mereguk “kemurnian” sebuah permainan yang penuh kegembiraan suka cita. (dan untuk bernostalgia masa kecil
waktu maen bola)
Kebetulan pertandingan baru di mulai, di sini gw seneng
ngeliat perkembangan taktik sepak bola yang udah di kuasai dan di pahami anak
seumuran mereka, bermain dengan 4 bek sejajar, terorganisir dan dari postur
mereka ideal ngeliatnya, beda dengan zama gw kecil dulu maen dengan 2 bek
sejajar, dimana ada bola di situ pada ngerubungin, yang paling hebat jadi
kapten tim plus penyerang yang gak bisa maen di suruh jadi kipper atau bek
pokoknya kacaunya semena mena.
Singkat cerita Pertandingan udah berjalan semua gembira
termasuk gw. Ada satu anak namanya rian maenya bagus skill di atas rata-rata
dia berhasil lewatin beberapa orang dengan skilnya yang baik, tapi sampai pada
akhirnya kenikmatan itu teranggu saat beberapa orang suporter entah itu
kakaknya atau orang tuanya pemain– mulai berteriak-teriak. Mereka meneriaki dan
memaki wasit dalam beberapa insiden. Puncaknya, saat penyerang lincah dengan
mobilitas yang tinggi bernomor punggung 10 si rian menguasai bola di sisi kiri,
salah satu dari mereka berteriak: “Patahin aja kakinya, patahin….”
Bagusnya, saat jeda pertandingan, inspektur pertandingan memanggil para suporter itu ke meja pertandingan. Entah apa yang dibilangin oleh panitia pertandingan, tapi sejak itu mereka diam dan gak lagi berteriak-teriak sepanjang babak kedua.
Gw ingat, saat orang-orang itu melintas di depan gw, salah seorang penonton di depan gw berkata: “Kalau mau rusuh-rusuhan di Liga Super aja sono!”
gw kira perkataan itu benar. Pertama, ini sepak bola anak-anak, turnamen yang sengaja dibuat untuk pembinaan pemain muda. Kendati ini sebuah turnamen yang berujung iming-iming hadiah dan prestasi, tujuan utamanya tetep pembinaan. Prestasi, dengan demikian, gak boleh mengalahkan motivasi pembinaan itu. Itu sebabnya pencurian umur haram betul. Itu sebabnya jatah pergantian pemain pun gak hanya 3 pemain seperti dalam kompetisi senior, sehingga setiap anak bisa mencicipi iklim kompetisi, tetap mendapatkan ruang untuk menjajal hasil latihannya dalam sebuah pertandingan resmi.
Meneriaki wasit jelas gak syahdu tuk di denger. Itu hanya akan membuat anak-anak pemilik masa depan sepak bola Indonesia udah dibiasakan dengan iklim yang gak sehat, iklim penuh syak-wasangka dan itu perlahan bisa merusak. Padahal, penonton mana pun yang melihat dengan jernih mengetahui bahwa wasit sudah memimpin pertandingan dengan baik.
Dan menyemangati para pemain dengan berteriak “patahin aja kakinya” adalah kanker busuk yang mestinya gak boleh ada dalam kompetisi sepak bola yunior. Gile aje kalau sedari muda anak-anak ini udah diajari main kayu dan asal tebas.
Menjadi juara dan pemenang sebuah turnamen yunior jelas prestasi membanggakan, tapi janganlah itu membikin kita permisif. Lagi pula, bukankah kebanggan sebuah kampung adalah saat bisa bilang: “Pemain timnas itu dulu belajar main bola dari kampong gw.”
Kedua, penonton itu juga benar saat bilang: “Kalau mau rusuh-rusuhan di Liga Super saja sono!”
Itu ucapan spontan yang dengan sangattt baik menggambarkan alam (bawah) sadar penonton tersebut yang merasa bahwa puncak kompetisi sepak bola di Indonesia adalah juga puncak kebobrokan sepak bola Indonesia. “Lihat, Liga Super gak dipandang sebagai puncak prestasi, tapi justru ajang untuk rusuh-rusuhan. Dan ini suara akar rumput, tepatnya suara orang yang peduli dengan pembinaan pemain muda,” gw jadi inget beberapa hari kemaren pas babak 8 besar ISL di jayapura antara tuan rumah persipura vs arema crounus dimana terjadi tawuran gila antara ruben sanadi dan dendy santoso, pencekikan kurnia mega plus pemukulan. miris
Bagi gw, ucapan spontan itu berarti: “Hei, dari sinilah benang kusut prestasi sepak bola Indonesia bisa mulai dipecahkan, itu pun jika mau!”
Ayo Indonesia kita pasti bisa, FORZA GARUDA !
nice artikel
BalasHapusbener bang boborok bola lokal kita pffft
BalasHapus